STATEMEN TIM ADVOKASI HUKUM ANTI KEJAHATAN SEXUAL DPC PERADI BANDUNG TERHADAP PERKARA NOMOR : LP.B/201/IV/JBR/RES.CMI

BANDUNG, JKN – Kaum perempuan memiliki kondisi berbeda dalam perkembangan sejarah umat manusia oleh karenanya bagi bangsa-bangsa yang menghargai HAM, di dalamnya harus selalu mengikutkan keadilan bagi kaum perempuan menjadi bagian penuh dalam segala nilai yang berlaku, termasuk juga mengafirmasi system dan infrastrukturnya. Sudah menjadi fakta sejarah bahwa diskriminasi terhadap perempuan terjadi jauh sebelum masa peradaban dimulai.

Oleh karena itulah Lewis H. Morgan, Evelyn Reed, Pat Brewer dan Frederic Engels bersusah-payah membantu kita memahami proses sejarah (baca: antropologi) bagaimana dan sebab apa diskriminasi perempuan muncul di masyarakat dalam hubungannya dengan sistem ekonomi-politik yang mempengaruhi kebudayaan di tiap proses pembentukan peradaban hingga sekarang. Kita yang kini hidup dalam masyarakat modern tentu akan mengutuk perlakuan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh masyarakat pada masa lampau.

Sekarang suara-suara penegakan HAM, keadilan, setara jender dan hal semacamnya terus bergulir bagai bola salju, tekanan tuntutan agar ada kesetaraan jender perlahan mengemuka sebagai isu utama bagi perjuangan perempuan, baik dalam wilayah publik maupun privat. Pengarus-utamaan jender (gender mainstreaming) sebagai kerangka acuan demi menyelamatkan hak kaum perempuan yang ribuan tahun terdiskriminasi oleh budaya/adat, hukum formal maka, harus sekonsisten mungkin dilakukan agar ancaman pelecehan terhadap kaum perempuan bisa dihapuskan.

Pelecehan terhadap kaum perempuan terjadi baik secara fisik maupun verbal. Bahkan aturan-aturan formal maupun adat juga berkontribusi atas pelecehan tersebut. Maka wajar jika dalam bukunya, Simone de Beauvoir melakukan penolakan ilmiah atas fakta bahwa perempuan dijadikan sebagai Second Sex di masyarakat. Bahkan para filsuf besar tidak sanggup meloloskan diri dari pikiran menomor-duakan perempuan dan mewajarkannya, seperti ungkapan terbelakang yang keluar dari Plato dengan mengatakan bahwa “perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna”. Fakta tersebut sebenarnya sedang membuktikan bahwa diskriminasi terhadap perempuan sudah terjadi ribuan tahun dengan dilazimkan oleh para pemikir dan apparatus pemerintahan.

Maka “wajar” jika sekarang keterbelakangan pemikiran tentang diskriminasi perempuan juga endemic (melekat erat) di pikiran para penegak hukum (termasuk perangkat kepolisian) yang seharusnya melindungi perempuan dari kekerasan dan diskriminasi atas nama Negara.
Serangan terhadap perempuan (berupa diskriminasi dan kekerasan seksual) yang dimaksud tidak hanya terjadi pada perempuan dewasa malainkan juga terhadap anak-anak. Kini, tindak kejahatan seksual pedophilia di Indonesia sudah mencapai titik paling mengkhawatirkan.

Sehingga bagi kami penting adanya dorongan memperbaiki banyak hal termasuk dalam perundang-undangan missal dengan penambahan hukuman maksimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Perubahan mendasar memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual perlu komitmen kuat dari seluruh perangkat hukum. Termasuk upaya sistemik perlindungan dan pemulihan korban kejahatan seksual. Tingkat kejahatan seksual yang sudah pada level membahayakan tentu bukan sekedar isapan jempol belaka. Data yang kami olah dari berbagai sumber, pada tahun 2017 di 34 provinsi dan 179 kab/kota, menyodorkan fakta bahwa terdapat kenaikan 74% dari tahun sebelumnya. kasus pelanggaran hak anak, sebanyak 2.979 atau 31 persennya merupakan kejahatan seksual terhadap anak, dengan bentuk-bentuk kejahatan seksual berupa Pencabulan sebanyak 911, Pelecehan 704, Perkosaan 699, Persetubuhan 343 dan sebanyak 2.227 (23℅) adalah kekerasan terhadap anak perempuan. Sedangkan di Jawa Barat kasus kekerasan seksual terhadap anak Mengalami peningkatan sebanyak 346 kasus sejak 2016 hingga 2017.

Tentunya Bukan angka yang sedikit, sehingga kami menilai sangat bersetuju dengan kampanye Zero Tolerance bagi tindak kejahatan seksual kepada anak dan perempuan. Upaya perlindungan hukum harus diperkuat dan disosialisasikan secara meluas ke seluruh masyarakat, termasuk mempermudah pelaporan, manambah/meningkatkan jumlah/kualitas PPA di kepolisian.

Secara legal, Indonesia sebenarnya sudah memiliki perangkat hukum untuk melindungi perempuan dan anak dari tindak kejahatan seksual, meski masih harus membuka kemungkinan perubahan-perubahannya. Pada tingkat internasional, ada Konvensi Anti Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan atau Convention on The Elimination of All Forms of Discriminations Againts Women (CEDAW) yang ditetapkan PBB pada 18 Desember 1979 untuk diratifikasi seluruh Negara anggota. Indonesia meratifikasinya melalui UU No.7 Tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempaun. Isi atau substansi dari konvensi anti-diskriminasi terhadap perempuan tersebut meliputi: Bagian II: pasal 7–9 yang berisi hak-hak sipil dan politik perempuan, bagian III: pasal 10-14 berisi tentang hak ekonomi, sosial dan budaya bagi perempuan, bagian IV: pasal 15-16 berisi tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di hadapan hukum dan persamaan hak di dalam perkawinan, bagian V: pasal 17-22 berisi tentang komite CEDAW, proses pelaporan dan pemantauan, bagian VI: pasal 23-30 berisi tentang ratifikasi, adopsi dan reservasi konvensi.

Dalam perlindungan terhadap anak, melalui Kepres No 36 Tahun 1990 telah menyetujui konvensi internasional berupa Conventions on The Right of The Child sebagai acuan perlindungan hak anak. Sebagai Negara anggota PBB, Indonesia kemudian melahirkan UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002. Artinya, sistem hukumnya sudah ada, tinggal bagaimana menyiapkan aparatur penegaknya agar memiliki kapasitas dan komitmen kuat melindungi anak dari tindak kejahatan seksual.

Kami sebagai bagian dalam masyarakat yang sadar atas bahaya tersebut memiliki inisiatif untuk melakukan konsolidasi berbasiskan kesamaan gagasan untuk memperjuangkan kesetaraan jender dan berhimpun dalam wadah Tim Advokasi Hukum Anti Kejahatan Seksual DPC PERADI Bandung. Yang kemudian tergerak atas maraknya kejahatan seksual kepada anak sehingga membulatkan tekad kami untuk berkomitmen membantu penegakan hukumnya dan melindungi korban tindak kejahatan seksual dalam kerangka proses hukum karena kami menilai kesadaran atas perlindungan anak korban kejahatan seksual masih sangat minim, misalnya penilaian apparatus penegak hukum yang menilai bahwa perempuan korban justru disalahkan dengan alasan menggoda laki-laki/suami. Apalagi kasus kejahatan seksual kepada anak terjadi di tiap daerah, lingkungan kerja, bahkan dalam lingkaran pendidikan. Seperti dalam kasus tindak kekerasan yang menimpa seorang anak perempuan berinisial RA dan ZK dari Cimahi. Fakta lapangan menunjukkan bahwa masih rendahnya kapasitas aparat penegak hukumnya, dalam hal ini adalah Kepolisian Resort Cimahi yang lamban menangani pelaporan dan menjerat pelaku tindak kejahatan seksual.

Hukum haruslah adil dan selalu memperjuangkan keadilan bagi semua pihak, terlebih Terhadap Korban yang dalam perkara ini Korban adalah anak dibawah umur yang terampas masa depannya oleh kelakuan bejat Terdakwa. Hukum yang tidak adil bertentangan sekali dengan hakikat keberadaan hukum dan haruslah diubah agar mencapai sasarannya yaitu kesejahteraan umum serta keadilan. Ketika anak manusia berhadapan dengan proses hukum itu sendiri, tidak lain dan tidak bukan yang diharapkan adalah lahirnya sebuah KEADILAN seutuhnya yang dimana kepentingan korban berada dalam kewenangan Kepolisian yang merupakan representasi negara

Demikian pernyataan sikap dari kami Tim Advokasi Hukum Anti Kejahatan Seksual DPC PERADI Bandung sebagai salah satu upaya mendorong agar aparat penegak hukum bisa lebih peduli pada korban kejahatan seksual anak dan menghukum berat bagi pelaku, mengingat tingkat kejahatan seksual di Indonesia, terutama di Jawa Barat, sudah pada tingkat mengkhawatirkan.

Juru Bicara Tim Advokasi Hukum Anti Kejahatan Seksual DPC PERADI Bandung/Sekretaris DPC PERADI Bandung
Asri Vidya Dewi, S.Si., SH. (ted/Musa)

Komentar