Normalisasi Pilkada Demokrasi Baru

Berita sidikkasus.co.id

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak akan dilaksanakan pada 23 September 2020 ditunda hingga Desember.

Penundaan pilkada di 270 daerah (Itu) ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020.

Perppu itu ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 4 Mei dan menyebut sejumlah alasan penundaan pilkada akibat bencana nonalam pandemi covid-19.

Sehubungan pandemi covid-19 belum jelas kapan tuntas, perpu itu pun melonggarkan jadwal pilkada.

Disebut-sebut, jika pada bulan Desember pilkada tetap tidak bisa dilaksanakan, maka pilkada akan ditunda dan akan dijadwalkan kembali karena mengingat pada bulan Desember sebagian daerah bakal dilanda cuaca buruk.

Penundaan pilkada tiga bulan itu dia dengan asumsi covid-19 akan berakhir pada bulan Mei.

Dengan demikian, mulai Juni, tahapan pilkada sempat tertunda akan kembali dilanjutkan.

Mulai dari pelantikan Panitia Pemungutan Suara, verifikasi faktual syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih, serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.

Akan ada onsekuensi lain untuk menyesuaikan lima tahapan pilkada dengan situasi covid-19. Adapun konsekuensi yang harus dihadapi adalah karena lima kegiatan itu melibatkan partisipasi massa dalam jumlah besar.

Kelimanya ialah verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan, pendataan pemilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta rekapitulasi perolehan suara.

Normalisasi pilkada akibat covid-19 mutlak harus dijalankan meski pilkada sebagai instrumen demokrasi membutuhkan partisipasi sebesar-besarnya pemilih.

Keselamatan harus tetap harus diutamakan di atas pelaksanaan demokrasi dan tidak berlebihan jika menyebut Pilkada 2020 sebagai uji coba normalisasi pilkada demokrasi baru.

Sebagai normalisasi pilkada dengan demokrasi baru, pilkada harus diselenggarakan secara ketat dan tetap menerapkan secara benar protokol kesehatan.

Keberhasilan pilkada tidak sekadar diukur dari konsistensi melaksanakan seluruh regulasi dan penghormatan atas hak pilih rakyat.

Jauh lebih penting lagi, sebagai normalisasi pilkada demokrasi baru dalam pilkada 2020 harus diselenggarakan tanpa melayat.

Kehormatan atas keselamatan adalah nyawa rakyat jika pilkada harus tetap dilaksanakan dengan melewati semua tahapan pilkada dengan tetap membatasi interaksi fisik, wajib mengenakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, dan mendorong semua aktivitas secara digital.

Bila perlu, kalau memang memungkinkan, pemungutan suara secara digital bisa dilakukan.

Yang tidak kalah pentingnya ialah segera melaksanakan ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Pasal itu melarang petahana untuk melakukan mutasi jabatan 6 bulan sebelum penetapan calon.

Pasal itu juga melarang petahana untuk menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan pasangan lain 6 bulan sebelum ditetapkan sebagai calon oleh KPU.

Jika pilkada digelar pada 9 Desember sesuai kesepakatan dengan KPU, pemerintah dan DPR, penetapan pasangan calon pada akhir Oktober.

Jika ditarik ke belakang 6 bulannya adalah akhir April. Dari situ, KPU harus segera mengeluarkan regulasi revisi tahapan pilkada sehingga diketahui kapan persisnya penetapan calon dilakukan.

Penerapan aturan yang melarang petahana itu sangat mendesak. Sebab, dari 270 daerah yang menggelar pilkada, ada potensi 230 petahana yang akan maju sebagai calon.

Tidaklah heran, jika sejauh ini, petahana berlomba-lomba untuk melakukan politisasi bantuan sosial untuk korban terdampak covid-19.

Kondisi pandemi covid-19 dianggap momentum bagus untuk membangun simpati pemilih hanya dengan bermodalkan stempel.

Penyalahgunaan bansos sebagai alat kampanye mulai ditemukan di sejumlah daerah. Pemberian bansos menyertakan simbol-simbol jabatan politik ataupun citra diri banyak dilakukan oleh petahana.

Salah seorang petahana di Sumatera Selatan membagikan sembako dan diklaim sebagai pemberian pribadi dari sang bupati melalui tukang semir sepatu (Camat).

Saat pembagian sembako dilakukan oleh salah satu oknum camat di Kabupaten Ogan Ilir (OI), wartawan menemukan adanya pengiringan opini yang dilakukan oleh camat Indralaya Utara kepada warga untuk kembali memilih sang petahana pada saat pilkada.

Petahana yang melanggar ketentuan Pasal 71 itu bisa didiskualifikasi sebagai calon oleh KPU setempat. Selain itu, ada pula ancaman pidana penjara paling lama enam bulan dan denda paling banyak Rp 6 juta.

Eloknya, seluruh petahana yang melakukan politisasi bantuan bencana pandemi covid-19 diberi sanksi secara tegas. Bila perlu didiskualifikasi.

Di tengah bencana saja masih menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan dengan menggunakan uang dari APBN atau APBD, setelah berkuasa kembali malah kian menjadi-jadi mencuri uang negara atau uang daerah.

Namun, Bawaslu belum bisa turun tangan mengusut dugaan pelanggaran petahana karena pilkada masih dalam status ditunda.

KPU belum mencabut penundaan itu. Karena itu, eloknya, pemilih yang cerdas menjatuhkan sanksi di kotak suara atas petahana yang memanfaatkan kesempatan di masa pendemi.

Jika tahapan pilkada dimulai awal Juni, masih ada waktu 20 hari ke depan bagi KPU dan Bawaslu untuk mempersiapkan peraturan pelaksana Perppu 2/2020.

Memang, situasi saat ini kurang kondusif. Pada satu sisi penyelenggara pemilu diwajibkan segera menyiapkan regulasi dan menyosialisasikannya, tapi di sisi lain belum ada tanda-tanda kapan wabah Covid-19 akan mereda.

Oleh : Adeni Andriadi

Komentar