Ketua Asosiasi BPD Banyuwangi: Jangan Kriminalisasi Desa Dengan UU KIP

Tak Berkategori

BANYUWANGI, ( JKN ) –
Beberapa hari belakangan ini berdasarkan informasi pengaduan yang diterima Asosiasi BPD (Badan Permusyawaratan Desa) Banyuwangi, nyaris seluruh Kepala Desa di Banyuwangi menerima surat dari perseorangan yang beralamatkan di Madura, Malang, dan Surabaya.

“Pada intinya, dalam surat itu pengirim surat meminta informasi publik berupa copy dokumen anggaran tahun 2015, 2016, 2017 dan 2018,” papar Rudi Hartono Latif (Ketua Asosiasi BPD Banyuwangi) melalui aplikasi perpesanan WhatsApp, Jumat (16/03/2018) pukul 18.38 WIB mengawali penjelasannya.

Dalam isi suratnya pemohon informasi itu mencantumkan identitas pribadi dan acuan dasarnya pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), namun tidak menerangkan secara jelas kepentingan dan maksud peruntukannya, kecuali hanya disampaikan untuk pengawasan masyarakat dan penyebarluasan informasi.

“Lebih jauh lagi surat itu mencatut pasal-pasal yang dirasa menjadi haknya, tapi tidak mengimbanginya dengan hak Pemerintah Desa serta kewajiban dan ketentuan tekhnis lainnya,” imbuh Rudi.

“Memang UU KIP itu menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan informasi publik, namun tidak dengan serta merta setiap orang bisa meminta hard copy dokumen yang banyak itu dan harus jelas peruntukannya,” terang Rudi.

“Karena jika setiap orang yang meminta berkas langsung dipenuhi meskipun tidak jelas peruntukannya, maka berapa anggaran penggandaan berkas yang harus ditanggung Pemerintah Desa? Karena pada satu tahun anggaran saja dokumennya sangat banyak, bisa-bisa Pemdes kehabisan waktu hanya untuk melayani hal-hal yang tidak jelas serta tidak penting bagi rakyat,” papar Rudi.

Lanjut Rudi, memang, dokumen anggaran adalah dokumen publik, tetapi tidak seenaknya sendiri setiap perseorangan atau lembaga bisa memintanya, namun Jika butuh informasi datang saja ke kantor desa untuk foto copy dengan biaya sendiri, atau datang baik-baik saat musyawarah perencanaan yang terbuka untuk umum, atau baca saja di banner informasi anggaran desa yang
sudah terpampang di tempat-tempat strategis desa, atau cukup melihat di website yang sudah ada.

“Dengan adanya UU KIP yang menjamin transparansi jangan lantas dijadikan alasan seenaknya sendiri apalagi jika untuk tujuan kriminalisasi dengan mencari-cari kesalahan dan peruntukannya yang tidak jelas,” tambah Rudi.

Kata Rudi, anehnya meskipun dari tiga kota dan orang yang berbeda, surat-surat tersebut datangnya nyaris bersamaan dan dengan isinya senada seirama pula, Bukankah ini menggoda prasangka, apa tujuan yang sebenarnya?

Saran Rudi, dengan datangnya surat tersebut, Asosiasi BPD Banyuwangi menyarankan Dinas terkait memediasi antara pemohon dan Pemdes, agar ada kejelasan apa maksud mereka.

Selain itu Rudi menghimbau kepada Kades agar tidak over protektif, juga tidak perlu terlalu khawatir. Bagaimana pun juga dokumen yang diminta memang dokumen yang sewajarnya menjadi konsumsi publik secara transparan.

Balas saja suratnya untuk dipersilakan memfotokopi sendiri atau bagaimana caranya agar yang bersangkutan mendapatkan informasi yang semestinya. Karena pemerintah desa juga tidak boleh menutup diri.

Namun jika setelah surat dibalas, si pemohon informasi publik merasa haknya dihalang-halangi, biarkan saja pemohon menggunakan haknya yang dalam UU KIP tersebut diatur tentang mediasi sengketa yang melibatkan Komisi Informasi yang ada di level provinsi.

“Pada nantinya tentu akan diproses dengan mengedepankan hal yang semestinya. Tidak mungkin Komisi Informasi lantas secara sepihak menyalahkan desa,” tandas Rudi.

Kata Rudi, bagaimanapun juga terlepas dari apa yang sebenarnya terjadi, kejadian ini merupakan warning bagi semua pihak, bahwa desa benar-benar semakin diawasi, tergantung pada niatannya.

Momentum ini harus diambil hikmahnya oleh para pemangku kepentingan desa, bahwa perencanaan pembangunan saat ini memang prosesnya harus lebih partisipatif dan transparan serta tidak bisa disusun dan diketahui hanya oleh elit desa saja seperti di masa lalu, apalagi hanya oleh Kades seorang.

Sehingga dokumennya pun harus terpublikasikan sebagaimana mestinya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, ungkap Rudi.

Sudah saatnya tata kelola pemerintahan desa dijalankan dengan proses yang lebih baik dan benar. Setidaknya harus lebih partisipatif, akuntabel, dan transparan.

“Itu pun butuh sinergi kepedulian serta tanggung jawab semua pihak untuk mewujudkannya. Buka
semata bertumpu kepada seorang Kades, BPD, maupun perangkat Desanya saja,” tegas Rudi.

“Jangan dengan alasan keterbukaan lantas ada pihak-pihak yang sejatinya tidak turut mensupport pembangunan desa tapi hanya mencari-cari kesalahan kemudian mengkriminalisasi demi kepentingan pragmatis diri sendiri,” pungkas Rudi.
( Teddy )

Komentar